Kamis, 24 Mei 2018

How to Get There


            Cara ke Sana

            Setelah aku dan rekanku terpilih, kami diminta untuk mengurus keberangkatan kami. Seingat aku, itu dimulai di bulan November 2012. Dan sejak itu pula, kami dikontak oleh pihak Australia terutama yang menangani program guru bantu yakni Clinton dan Jennifer DEECD (Department of Education and Early Childhood Department).
            Tertanggal 26 November 2012, Clinton mengirimkan beberapa dokumen seperti panduan guru bantu (LAP guidelines), panduan informasi umum untuk peserta luar negri (General information guide for overseas participants), panduan sebelum keberangkatan dan kedatangan (Pre-departure and arrival guide), dan informasi untuk mengajukan visa. Aku pun dikirimi surat undangan yang nantinya diperlukan untuk mengajukan visa.
Kepergian kami ini melibatkan dua negera: Indonesia dan Australia dalam bingkai kerja sama program guru bantu yang bernama Victoria Second Language Assistant Program. Oleh karena itu, beberapa dokumen perlu disiapkan dan dibawa. Tentu saja, dalam hal ini kami dibantu pihak kampus terutam OIER (Office of International Education and Relations) UPI.
            Beberapa dokumen yang perlu kami siapkan di antaranya biodata termasuk personal statement, surat tugas dari UPI, lembar aplikasi Visa, paspor, kartu identitas, dan ijazah serta transkrip nilai, akta lahir, kartu keluarga, surat undangan dari pihak Australia, surat pendamping visa dari sekolah tempatku di Australia, dan surat keterangan asuransi kesehatan.
            Biodata yang harus dilengkapi berdasarkan format dari program guru bantu ini termasuk personal statement yang menceritakan tentang diri sendiri dan rencana ke depan. Surat tugas disiapkan oleh pihak OIER dan kami tinggal mendapatkannya. Tertanggal 13 Desember kami mendapatkan surat tugas itu. Aplikasi visa 1416 perlu dicetak untuk diisi. Clinton memberikan informasi untuk mengisinya. Jika tidak, kami akan sungguh kebingungan.
            Aku belum pernah ke luar negri jadi passporlah sebenarnya yang pertama kali aku siapkan karena ternyata membuat paspor cukup memakan waktu. Untuk membuat paspor ini, aku harus ke kantor imigrasi di jl. PH. Mustofa Bandung., mengantri untuk difoto, mengantri untuk bayar, dan sebagainya. Hihi, ternyata untuk foto paspor ini seluruh wajah harus terlihat. Walhasil, aku yang memakai ciput topi harus menyesuaikan ciput dan kerudungku agar alis dan kening terlihat.
            Kartu identitas, ijazah, transkrip nilai, akta lahir, dan kartu keluarga perlu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Kami menggunakan jasa penerjemah Bu Dewi yang kantornya berada di sebrang sekolah tinggi seni di daerah Buah Batu. Kalau tidak salah ingat, biaya per dokumennya Rp 15.000.
            Surat undangan dari Clinton sudah diterima. Surat pendamping dari sekolah kuterima dari Lea, guru Bahasa Indonesia di Wedderburn College.
Asuransi kesehatan harus kami miliki untuk mengajukan visa. Oleh karena itu, kami pun mencari-cari lembaga asuransi di Australia. Setelah konsultasi beberapa orang termasuk alumni guru bantu tahun lalu, kami memilih Iman Australian Health dengan biaya per bulannya AUD76. Untuk dapat surat asuransinya kami harus membayar untuk pertama kali dan untuk itu kami membutuhan kartu kredit. Waah, aku tidak punya begitu pun orang tua atau kakak-kakakku. Akhirnya, aku meminjam kartu kredit bibiku. Tertanggal 6 Desember 2012, pengajuan asuransiku telah diterima Iman.
Semua dokumen itu diperlukan untuk aplikasi visa. Ada berbagai macam visa tergantung tujuannya. Kami membuat aplikasi visa 1416 sesuai bimbingan dari pihak Australia khususnya yang menangani proram guru bantu ini.
            Dokumen tersebut harus dalam bentuk PDF atau image agar dapat dikirim melalu email ke Hobart.Special.Program@immi.gov.au, department imigrasi dan kewarganegaraan. Selain mengirim dokumen-dokumen itu, kami juga perlu membayar sejumlah uang AUD 315 dengan kartu kredit Visa, MasterCard, AMEX atau Diners Club.
            Tertanggal 17, Hobart mengabarkan melalui email bahwa tanggal 14 Desember 2012 pengajuan visaku “was validly lodged with the Department of Immigration and Citizenship.” Aku diinformasikan untuk melakukan tes kesehatan yang hanya dapat dilakukan di klinik tertentu. Informasi tentang klinik atau dokter untuk tes kesehatan tersedia di http://www.immi.gov.au/contacts/panel-dctors. Hobart pun menginformasikan bahwa aku harus merespon email paling lambat 28 hari dari diterimanya email.
Aku pun melakukan tes kesehatan pada awal Januari di Jakarta. Alhamdulillah tidak mengantri lama. Urinku dites. Kemudian aku diperiksa dokter. Sempat berbincang dengan dokter akan kekhawatiranku. Aku sempat sakit gejala thypus di bulan desember dan masih dalam pemulihan, aku khawatir ini mempengaruhi hasil tes kesehatan dan hasil keputusan visa. Namun, dokter bilang bahwa yang dikhawatirkan Australia adalah penyakit menular seperti TBC. Lalu, aku pun menjalani X-ray. Perlu dua kali melakukannya, entah kenapa. Setelah beberapa hari dari tes, aku dihubungi klinik untuk melakukan x-ray lagi. Aku jadi khawatir apa aku kena TBC, tiba-tiba? Aku ke klinik lagi dan aku tanya kepada petugas X-ray karena aku khawatir. Alhamdulilah, orangnya baik, dia bilang akan mengabari segera tentang hasilnya. Setelah beberapa lama, sebelum aku kembali ke Bandung dia mengabarkan bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Alhamdulillah.
            Sejak itu, aku rajin mengecek e-mail. Namun, lama hingga waktu program SLAP dimulai, kabar dari Hobart tak kunjung datang. Aku pun harus menerima kenyataan tak bisa mengikuti pembekalan di awal Februari di Melbourne, Australia bersama language assistant lain dari Jepang dan Tiongkok.
            Beberapa hari kemudian, kabar datang dari Tya. She is granted visa! Wah, aku langsung cek inbox sampai spam tapi tak kutemukan e-mail dari Hobart. Ada apa gerangan? Entahlah, apa karena aku berjilbab? Entahlah.
            Ku tiba di penghujung Februari. Akhirnya! Tanggal 21 Februari Hobart mengirim e-mail: IMMI Grant notification. Aku dapat visa! Oh senangnya, Alhamdulillah. Aku pun segera mengabarkan orang-orang: Tya, Pak Harto (dosenku dan kepala OEIR), dan Lea.
            Lalu, aku dan Tya segera memesan tiket pesawat. Tadinya, kami ingin cari yang termurah. Namun, dosen menyarankan agar kami terbang bersama Garuda. Lebih aman, lebih nyaman. Dan Pak Harto ingin kami benar-benar sampai di Australia, ga di laut. Ih, na’udzubilah. Dipikir-pikir, tentu saja. Kami kan akan melakukan penerbangan panjang. Perlu tempat nyaman dan makanan halal. Oleh karena itu, kami merogoh kocek sekitar 1.049,20 dolar Amerika untuk tiket pergi kami berdua.
            Setelah mendapatkan e-ticket, aku dan Tya mengabarkan masing-masing LO (Liaison Officer) kami tentang penerbangan kami tentunya dengan harapan mereka akan menjemput kami.


#latepost

Pray and Mom’s Sincere Permission


            Do’a dan Ridho Ibu

            “Pendaftaran Language Assistant dibuka.” Kata Mutiara, temanku yang menjadi guru bantu di Australia tahun 2012. Ketika itu, aku tidak berpikir untuk mendaftarkan diri. Itu karena kembali ke mimpiku di awal, aku ingin kuliah S2 – yang nantinya menunjang karirku – tidak hanya ingin tinggal di luar negeri, mengasah kemampuan berbahasa Inggris, dan menambah pengetahuanku. Lagipula, aku sedang kuliah S2 di semester satu saat itu dan aku merasa tanggung jika harus meninggalkan kuliahku. Meskipun temanku itu mengatakan bahwa mengikuti program guru bantu itu sangat bermanfaat, aku tetap tak bertekad untuk mendaftarkan diri.
            Beberapa menit kemudian, ibuku menelpon memberitahukan tentang program guru bantu itu. Aku merasa sangat heran, darimana ibuku tahu tentang hal itu. Ternyata, ibu tahu dari rekan kerjanya sesama guru di sekolah yang mengetahui program ini dari kampus tempat aku kuliah S1 dulu. Aku katakan pada ibu bahwa aku tidak akan mendaftarkan diri. Namun, karena Ibu tahu bahwa aku ingin meningkatkan kemampuan di bidangku dengan cara pergi ke luar negeri, ibu mendorongku untuk mendaftarkan diri.
“Ibu ridho kalau aku pergi ke luar negeri?” tanyaku.
            “Iya.” Jawab ibu.
            “Ibu bahagia kalau aku pergi?” tanyaku lagi.
            “Iya tentu kalau kamu bahagia juga.”
            “Tidak apa-apa aku meninggalkan kuliah?”
            “Iya tidak apa-apa, barangkali dapat beasiswa di sana.”
            Berbekal niat karena Allah, aku ingin membuat ibu bahagia dan bangga padaku, akupun beranjak dari tempat dudukku dan segera berangkat ke kampus untuk mencari info pendaftaran program guru bantu. Dalam prosesnya termasuk proses seleksi, aku senantiasa ingat bahwa jika aku bisa terpilih menjadi guru bantu di Australia, ibuku akan bahagia dan merasa bangga padaku. Aku ingin ibu bahagia oleh karenanya aku berusaha agar aku dapat terpilih. Tidak hanya usaha, aku pun senantiasa berdo’a.
Robbisy rohlii shodrii wa yassirlii amrii wahlul ‘uqdatammillisaanii yafqohuu qoulii. Ya Tuhanku, lapangkanlah dadaku, mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dalam lidahku agar mereka mengerti perkataanku” Do’aku berulang-ulang kali ketika menunggu giliran wawancara dalam proses seleksi.
Selesai wawancara, aku tidak merasa puas sampai-sampai muncul kekhawatiran bahwa aku tidak akan lolos. Peserta seleksi yang lain pun nampak bagiku lebih berpotensi terpilih. Walaupun demikian, aku sadar harus tetap optimis, tetap berharap meskipun cemas. Di perjalanan pulang dari kampus, di kala rintikan air hujan membasahiku yang mengendarai motor, aku berdo’a agar aku terpilih sehingga ibuku bahagia dan merasa bangga padaku. Akupun berdo’a berulang-ulang di salah satu waktu mustajabnya do’a itu: saat turunnya hujan.
Beberapa hari kemudian, di hari Jum'at pagi, di saat aku akan mengajar, aku mendapat sms yang berisi kabar lolosnya aku menjadi language assistant. Saat itu, betapa sangat gembiranya hatiku dicampur rasa gugup, haru, dan sebagainya tak menentu. Namun, tentunya ini sesuai harapanku dan ini merupakan kabar gembira untuk ibu, bapak, dan saudara-saudaraku.
     Semoga ini langkah yang baik yang bisa mengantarkanku mendapatkan pengalaman yang membuatku jadi lebih baik sebagai hamba Allah, sebagai guru bahasa Inggris, sebagai makhluk sosial, dan sebagainya. Aamiin.
Terwujudnya aku pergi ke Australia bisa juga karena mimpi ibuku. Ia menulis “Australia” dalam daftar harapannya yang ia tuliskan di kertas dan ia pajang di kamarnya. Mimpinya pun terwujud selama aku di sana.


#latepost

Senin, 21 Mei 2018

Some people say “don’t be afraid to dream high” in addition, I say “Dream high and strong!”


Sebagian orang berkata “Jangan takut untuk bermimpi yang tinggi” sebagai tambahan aku berkata “Mimpilah yang tinggi dan kuat!”

            Bertandang ke negeri orang sudah menjadi harapan sejak lama, sejak aku masih duduk di bangku SMK. Lalu, impian itu berkembang. Aku tidak hanya ingin bertandang tetapi belajar di sana melalui program beasiswa. Di tahun 2005, aku tuliskan mimpi itu. Mimpi bahwa aku ingin kuliah S1 jurusan Bahasa Inggris di salah satu universitas terbaik lalu mendapatkan beasiswa S2 di negeri yang orang-orangnya berbicara bahasa Inggris.
Tahun-tahun demi tahun berlalu, tak pernah aku melupakan mimpi itu. Selama itu pula, aku selalu mencari-cari kesempatan beasiswa melalui dunia maya. Namun, hingga tahun 2012, gayung tak bersambut. Aplikasi beasiswaku melalui ADS di tahun 2011 dan Fullbright di tahun 2012 belum berhasil. Padahal bagiku, seorang guru bahasa Inggris yang ingin meningkatkan kemampuan di bidangku, beasiswa ke negeri seperti Amerika, Inggris atau Australia itu sangatlah penting. Itu karena menurutku dengan tinggal di negeri itu, kemampuan bahasa Inggrisku akan berkembang, pengetahuan, dan pengalamanku pun dapat bertambah.
Keinginanku semakin kuat. Aku benar-benar merasa harus pergi ke salah satu negeri itu untuk tinggal beberapa bulan, mengasah kemampuan berbahasa Inggrisku, dan menambah pengetahuanku. Niatku pun bulat sampai-sampai bertekad untuk mengumpulkan uang sendiri atau pinjam orang tua untuk dapat mewujudkannya.
Di tahun 2013, keinginanku terwujud. Dan Allah sungguh tahu apa yang kuinginkan sehingga aku diberi kenikmatan bisa tinggal bersama orang Australia selama kurang lebih 10 bulan dan bekerja di sekolah dimana hampir semuanya adalah pembicara bahasa Inggris asli – native speakers - . Aku pun jadi tahu mengapa Allah tidak menakdirkanku mendapat beasiswa kuliah di Negara berbahasa Inggris itu. Itu karena dengan menjadi mahasiswa, belum tentu aku dapat sering berinteraksi langsung dengan native speakers. Juga, aku belum tentu mampu menjadi mahasiswa internasional yang mendapat amanah beasiswa dan dapat lulus dengan hasil memuaskan. Segala puji bagi Allah. Alhamdulillah.


#latepost

Kamis, 18 Mei 2017

Salt and Pepper

Garam dan merica nampaknya merupakan bagian dari budaya Barat. Garam dan merica selalu ada di setiap meja. Garam dan merica selalu ada di meja makan di rumah tempat tinggalku di Wedderburn, Victoria, Australia. Ketika aku berkunjung ke Echuca dan aku berjalan melewati restoran, aku melihat garam dan merica di atas meja-meja yang berada di teras.

Aku pun mengalami momen garam dan merica.

Pada malam pertama aku tinggal di rumah kosku di Wedderburn, ibu kos yang antara lain Miss Michelle memasak makanan untuk keluarga dan aku. Setelah masakan matang, miss Michelle meminta Tahlia untuk menyiapkan meja makan. Aku pikir meja sudah sial karena sudah ada garam dan dapur di meja. Namun ternyata mereka dress up the table. Tahlia menghamparkan kain merah di atas meja lalu menyimpan kembali tempat garam dan merica yang ada warna merahnya juga. Ia pun menambahkan beberapa helai kain persegi di atas taplak dimana piring akan diletakkan. Tahlia lalu bertanya pada Miss Michelle apa yang dibutuhkan: sendok dan garpu atau splade (garpu sendok), dsb. Lalu Tahlia pun mengambil garpu dan pisau dari sebuah laci di dapur dan meletakkannya di atas tepian kain persegi tadi. Gelas pun ia letakkan di sebelah kain tersebut. Sebotol air minum yang airnya dia ambil dari keran pun ia simpan dekat garam dan merica.
Miss Michelle memintaku untuk menghampirinya untuk menanyakan porsi makanku. Saat itu Miss Michelle sedang menghidangkan makanan ke piring-piring.
"Restri, is that enough?" tanyanya ketika menghidangkan untukku.
Aku tidak yakin mau jawab apa. Bagiku tampak tidak mengenyangkan satu paha ayam, sayuran rebus, dan segenggam kentang halus (mashed potato). Tapi aku pun sungkan untuk minta tambah. Aku pun menjawab, "yes, thank you."

Masakannya nampak enak. Namun, aku yang belum terbiasa dengan makanan Barat yang orisinil merasa bumbunya kurang asin. Aku ingin mengambil garam yang ada di meja tapi aku sungkan.

Namun, setelah aku melihat mereka mengambilnya dan menaburkannya di hidangan, aku pun mengambil garam dan menaburnya di makananku. Aku yang suka pedas pun menabur merica. Aku mulai makan lagi tapi rasa asin dan pedas yang biasa aku dapat di Indonesia belum terasa, aku pun menambahkan garam dan merica lagi. Tanpa disadari, Miss Michelle sekeluarga memperhatikanku.

Di malam berikutnya, Miss Michelle masih memasak makan malam untukku. Tanpa menunggu yang lain, aku langsung menaburkan garam dan merica. Karena menurut pengalaman kemarin sedikit garam dan merica tidak membuat makananku asin, aku pun menaburkan cukup banyak garam dan merica sampai- sampai,
"Maybe Restri thinks the food is not delicious." kata Miss Michelle.
Aku pun jadi tersadar, jangan-jangan aku menyinggung perasaannya.
"No, it's just ... I'm used to eat salty food, you know, in Indonesia foods are salty. This food is nice." aku menjelaskan sebisaku.

Keesokan malam, Miss Michelle masih memasak untukku. Mengingat kejadian malam kemarin, aku tidak menabur garam dan Merica ke dalam makananku. Aku pikir, aku tinggal di negeri ini dan harus bisa menyesuaikan dengan makanan di sini.
"Is it nice?" tanya Miss Michelle perihal makanannya.
"Yes." jawabku lugas sambil tersenyum. Aku menjawab sejujurnya.



Rabu, 28 September 2016

Native-like, perlukah?

Berbicara tentang ini, saya teringat pengalaman selama tinggal di Australia.

Saya cukup percaya diri untuk pergi ke dan tinggal di suatu negeri yang berbahasa Inggris seperti Australia.

Maaf bukan sombong, waktu saya SMP, saya les senin-jum'at selama hampir 1 tahun sehingga saya bisa berprestasi (mendapat nilai Bahasa Inggris yang tinggi). Bahkan, saya pernah mendapat nilai 9 di rapot dan itu adalah nilai terbesar seangkatan. Sayang, saya hanya jago teori seperti grammar, dsb. Ketika diikutkan lomba bahasa Inggris oleh guru saya, saya sudah tereliminasi di babak penyisihan 😂.

Waktu di SMK, ya saya sih merasa ilmu yang didapat semasa les masih nempel. Walhasil, nilai TOEIC saya lumayan tinggi sehingga visa ikut tes TOEIC internasional. Dasar sudah ke-PD-an jadi enggak belajar. Walhasil, nilainya turun.

Walaupun demikian, saya tetap PD dengan kemampuan Bahasa Inggris saya. Oleh Karena itu, saya kuliah di jurusan pendidikan Bahasa Inggris.

Semakin PD Karena sekali yes PTESOL, langsung memenuhi kriteria lulus. Saya pun jadi PD untuk mengejar beasiswa studi ke luar. Saya pun kemudian PD untuk mengambil tes IELTS. Alhamdulillah, hasil gadaiin emas 3 gram tidak sia-sia Karena nilai IELTS saya lumayan untuk memenuhi kriteria.

Itulah kenapa saya PD dg bahasa Inggris saya. Ya meskipun pada akhirnya tidak dapat beasiswa studi di luar, alhamdulillah tetap bisa mengalami tinggal di luar negeri. 😊

Namun, ke-PD-an saya ternyata keblinger. Suatu ketika bertemu dan berbicara dengan native speakers, mereka perlu agar saya mengulang perkataan saya atau mereka minta waktu until memahami apa yang saya katakan. Hmm, mungkin saya berbicara terlalu cepat. Nyatanya, meskipun tidak berbicara cepat, mereka perlu beradaptasi dengan Bahasa Inggris saya. Sama, saya pun 2 minggu awal tinggal di Sana merasa nge-hang, kurang mengerti apa yang mereka ucapkan. Mungkin Karena aksen mereka lebih seperti British-english sementara yang biasa saya dengar adalah American English.
Jangan-jangan mereka pun nge-hang ketika mendengar Bahasa Inggris saya dengan aksen yg antah berantah.

Mengingat itulah, saya pikir native-like (pelfalan, aksen, dsb.) perlu. Saya pun ingin anak-anak saya memiliki native-like English.

Sekian

#metime

Mau tahu biar anak dapet native-like?
Cek my IG: @restr333

Kamis, 21 April 2016

Wedderburn College Teacher Name Tag

Saya ingat, di hari Senin tanggal 4 Maret, saya ditemani Tahlia, anak Ibu Kos, ke sekolah Wedderburn. Di hari Minggu sebenarnya saya sudah ke sekolah bersam kepala sekolah dan Lea untuk melihat-lihat. Namun, memang saya tidak tahu bagaimana masuk ke sekolah di hari sekolah. Oleh karenaya, Tahlia menemani saya masuk, bertemu dengan Tina yang ada di Front Office. Lalu saya masuk ke ruang guru melewati ruang pantry guru. Saya tidak ingat, pada saat itu ada guru lain atau tidak. Yan saya ingat, saya diberi beberapa dokumen tentang sekolah, beberapa hal lain termasuk name tag. Saya senang sekali ketika mendapatkan name tag. Pertama, tulisana nama saya BENAR, tidak ada kesalahan ejaan. Kedua, name tag nya sama seperti yang dipakai guru-guru lain sehingga saya merasa diterima sebagai bagian dari guru-guru dan merasa
tidak dibedakan. Ketiga, name tag nya bukan name tag biasa yg terbuat dar plastik mika keras yang diisi secarik kertas bertuliskan nama. Name tag yang satu ini bermagnet jadi tinggal pasang magnet di dalam baju. Ini salah satu kenangan manis yang bisa dibawa pulang. Terima kasih Bu Margareth-Ann Wright selaku kepala sekolah dan terima kasih Wedderburn College.

*Mudah-mudahan bu MAW dan Lea tidak keberatan dengan fotonya. :-D

Selasa, 19 April 2016

Wedderburn College Saucer dan Perpisahan

Ini adalah kenang-kenangan dari Wedderburn College, sekolah tempat saya menjadi asisten guru bahasa Indonesia. Saya ingat, hari itu, Jum'at, 20 Desember, hari terakhir sekolah. Kami, para guru, berkumpul. Guru-guru disini berkumpul dalam rangka kris krangle. Selain itu, kami berkumpul sebagai farewell party bagi guru-guru yang pergi, saya salah satunya. Saya harus pergi karena kontrak saya sebagai asisten guru sudah usai. Saya pergi untuk kembali ke Indonesia. Ketika itu, Julie sebagai koordinator para guru, menyerahkan saucer pada saya dan memberi saya waktu untuk menyampaikan sepatah dua patah kata. Kesempatan itu saya gunakan untuk berterima kasih pada semua terutama Lea, guru Bahasa Indonesia sekaligus LO saya. Saya pun ingin mengucapkan hal lain tapi tiba-tiba saya tidak bisa berkata malah ingin menangis. Saat itu, perasaan saya campur aduk: senang, sedih, dsb. Senng karena akan pulang kembali ke keluarga di Indonesia. Sedih karena akan kehilangan hari-hari yang indah di Australia dan mungkin sedih juga karena terbesit dalam benak akankah mereka tetap baik pada saya setelah saya pergi?