Rabu, 28 September 2016

Native-like, perlukah?

Berbicara tentang ini, saya teringat pengalaman selama tinggal di Australia.

Saya cukup percaya diri untuk pergi ke dan tinggal di suatu negeri yang berbahasa Inggris seperti Australia.

Maaf bukan sombong, waktu saya SMP, saya les senin-jum'at selama hampir 1 tahun sehingga saya bisa berprestasi (mendapat nilai Bahasa Inggris yang tinggi). Bahkan, saya pernah mendapat nilai 9 di rapot dan itu adalah nilai terbesar seangkatan. Sayang, saya hanya jago teori seperti grammar, dsb. Ketika diikutkan lomba bahasa Inggris oleh guru saya, saya sudah tereliminasi di babak penyisihan 😂.

Waktu di SMK, ya saya sih merasa ilmu yang didapat semasa les masih nempel. Walhasil, nilai TOEIC saya lumayan tinggi sehingga visa ikut tes TOEIC internasional. Dasar sudah ke-PD-an jadi enggak belajar. Walhasil, nilainya turun.

Walaupun demikian, saya tetap PD dengan kemampuan Bahasa Inggris saya. Oleh Karena itu, saya kuliah di jurusan pendidikan Bahasa Inggris.

Semakin PD Karena sekali yes PTESOL, langsung memenuhi kriteria lulus. Saya pun jadi PD untuk mengejar beasiswa studi ke luar. Saya pun kemudian PD untuk mengambil tes IELTS. Alhamdulillah, hasil gadaiin emas 3 gram tidak sia-sia Karena nilai IELTS saya lumayan untuk memenuhi kriteria.

Itulah kenapa saya PD dg bahasa Inggris saya. Ya meskipun pada akhirnya tidak dapat beasiswa studi di luar, alhamdulillah tetap bisa mengalami tinggal di luar negeri. 😊

Namun, ke-PD-an saya ternyata keblinger. Suatu ketika bertemu dan berbicara dengan native speakers, mereka perlu agar saya mengulang perkataan saya atau mereka minta waktu until memahami apa yang saya katakan. Hmm, mungkin saya berbicara terlalu cepat. Nyatanya, meskipun tidak berbicara cepat, mereka perlu beradaptasi dengan Bahasa Inggris saya. Sama, saya pun 2 minggu awal tinggal di Sana merasa nge-hang, kurang mengerti apa yang mereka ucapkan. Mungkin Karena aksen mereka lebih seperti British-english sementara yang biasa saya dengar adalah American English.
Jangan-jangan mereka pun nge-hang ketika mendengar Bahasa Inggris saya dengan aksen yg antah berantah.

Mengingat itulah, saya pikir native-like (pelfalan, aksen, dsb.) perlu. Saya pun ingin anak-anak saya memiliki native-like English.

Sekian

#metime

Mau tahu biar anak dapet native-like?
Cek my IG: @restr333

Kamis, 21 April 2016

Wedderburn College Teacher Name Tag

Saya ingat, di hari Senin tanggal 4 Maret, saya ditemani Tahlia, anak Ibu Kos, ke sekolah Wedderburn. Di hari Minggu sebenarnya saya sudah ke sekolah bersam kepala sekolah dan Lea untuk melihat-lihat. Namun, memang saya tidak tahu bagaimana masuk ke sekolah di hari sekolah. Oleh karenaya, Tahlia menemani saya masuk, bertemu dengan Tina yang ada di Front Office. Lalu saya masuk ke ruang guru melewati ruang pantry guru. Saya tidak ingat, pada saat itu ada guru lain atau tidak. Yan saya ingat, saya diberi beberapa dokumen tentang sekolah, beberapa hal lain termasuk name tag. Saya senang sekali ketika mendapatkan name tag. Pertama, tulisana nama saya BENAR, tidak ada kesalahan ejaan. Kedua, name tag nya sama seperti yang dipakai guru-guru lain sehingga saya merasa diterima sebagai bagian dari guru-guru dan merasa
tidak dibedakan. Ketiga, name tag nya bukan name tag biasa yg terbuat dar plastik mika keras yang diisi secarik kertas bertuliskan nama. Name tag yang satu ini bermagnet jadi tinggal pasang magnet di dalam baju. Ini salah satu kenangan manis yang bisa dibawa pulang. Terima kasih Bu Margareth-Ann Wright selaku kepala sekolah dan terima kasih Wedderburn College.

*Mudah-mudahan bu MAW dan Lea tidak keberatan dengan fotonya. :-D

Selasa, 19 April 2016

Wedderburn College Saucer dan Perpisahan

Ini adalah kenang-kenangan dari Wedderburn College, sekolah tempat saya menjadi asisten guru bahasa Indonesia. Saya ingat, hari itu, Jum'at, 20 Desember, hari terakhir sekolah. Kami, para guru, berkumpul. Guru-guru disini berkumpul dalam rangka kris krangle. Selain itu, kami berkumpul sebagai farewell party bagi guru-guru yang pergi, saya salah satunya. Saya harus pergi karena kontrak saya sebagai asisten guru sudah usai. Saya pergi untuk kembali ke Indonesia. Ketika itu, Julie sebagai koordinator para guru, menyerahkan saucer pada saya dan memberi saya waktu untuk menyampaikan sepatah dua patah kata. Kesempatan itu saya gunakan untuk berterima kasih pada semua terutama Lea, guru Bahasa Indonesia sekaligus LO saya. Saya pun ingin mengucapkan hal lain tapi tiba-tiba saya tidak bisa berkata malah ingin menangis. Saat itu, perasaan saya campur aduk: senang, sedih, dsb. Senng karena akan pulang kembali ke keluarga di Indonesia. Sedih karena akan kehilangan hari-hari yang indah di Australia dan mungkin sedih juga karena terbesit dalam benak akankah mereka tetap baik pada saya setelah saya pergi?