Do’a
dan Ridho Ibu
“Pendaftaran Language Assistant dibuka.” Kata Mutiara, temanku yang menjadi guru
bantu di Australia tahun 2012. Ketika itu, aku tidak berpikir untuk
mendaftarkan diri. Itu karena kembali ke mimpiku di awal, aku ingin kuliah S2 –
yang nantinya menunjang karirku – tidak hanya ingin tinggal di luar negeri,
mengasah kemampuan berbahasa Inggris, dan menambah pengetahuanku. Lagipula, aku
sedang kuliah S2 di semester satu saat itu dan aku merasa tanggung jika harus
meninggalkan kuliahku. Meskipun temanku itu mengatakan bahwa mengikuti program
guru bantu itu sangat bermanfaat, aku tetap tak bertekad untuk mendaftarkan
diri.
Beberapa menit kemudian, ibuku
menelpon memberitahukan tentang program guru bantu itu. Aku merasa sangat
heran, darimana ibuku tahu tentang hal itu. Ternyata, ibu tahu dari rekan
kerjanya sesama guru di sekolah yang mengetahui program ini dari kampus tempat
aku kuliah S1 dulu. Aku katakan pada ibu bahwa aku tidak akan mendaftarkan
diri. Namun, karena Ibu tahu bahwa aku ingin meningkatkan kemampuan di bidangku
dengan cara pergi ke luar negeri, ibu mendorongku untuk mendaftarkan diri.
“Ibu ridho kalau aku pergi ke luar
negeri?” tanyaku.
“Iya.” Jawab ibu.
“Ibu bahagia kalau aku pergi?”
tanyaku lagi.
“Iya tentu kalau kamu bahagia juga.”
“Tidak apa-apa aku meninggalkan
kuliah?”
“Iya tidak apa-apa, barangkali dapat
beasiswa di sana.”
Berbekal niat karena Allah, aku
ingin membuat ibu bahagia dan bangga padaku, akupun beranjak dari tempat
dudukku dan segera berangkat ke kampus untuk mencari info pendaftaran program
guru bantu. Dalam prosesnya termasuk proses seleksi, aku senantiasa ingat bahwa
jika aku bisa terpilih menjadi guru bantu di Australia, ibuku akan bahagia dan
merasa bangga padaku. Aku ingin ibu bahagia oleh karenanya aku berusaha agar
aku dapat terpilih. Tidak hanya usaha, aku pun senantiasa berdo’a.
“Robbisy
rohlii shodrii wa yassirlii amrii wahlul ‘uqdatammillisaanii yafqohuu qoulii.
Ya Tuhanku, lapangkanlah dadaku, mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah
kekakuan dalam lidahku agar mereka mengerti perkataanku” Do’aku berulang-ulang
kali ketika menunggu giliran wawancara dalam proses seleksi.
Selesai wawancara, aku tidak merasa puas
sampai-sampai muncul kekhawatiran bahwa aku tidak akan lolos. Peserta seleksi
yang lain pun nampak bagiku lebih berpotensi terpilih. Walaupun demikian, aku
sadar harus tetap optimis, tetap berharap meskipun cemas. Di perjalanan pulang
dari kampus, di kala rintikan air hujan membasahiku yang mengendarai motor, aku
berdo’a agar aku terpilih sehingga ibuku bahagia dan merasa bangga padaku.
Akupun berdo’a berulang-ulang di salah satu waktu mustajabnya do’a itu: saat turunnya
hujan.
Beberapa hari kemudian, di hari Jum'at pagi, di saat aku akan mengajar,
aku mendapat sms yang berisi kabar lolosnya aku menjadi language assistant. Saat itu, betapa sangat gembiranya hatiku
dicampur rasa gugup, haru, dan sebagainya tak menentu. Namun, tentunya ini
sesuai harapanku dan ini merupakan kabar gembira untuk ibu, bapak, dan
saudara-saudaraku.
Semoga ini langkah yang baik yang bisa mengantarkanku mendapatkan pengalaman yang membuatku jadi lebih baik sebagai hamba Allah, sebagai guru bahasa Inggris, sebagai makhluk sosial, dan sebagainya. Aamiin.
Semoga ini langkah yang baik yang bisa mengantarkanku mendapatkan pengalaman yang membuatku jadi lebih baik sebagai hamba Allah, sebagai guru bahasa Inggris, sebagai makhluk sosial, dan sebagainya. Aamiin.
Terwujudnya aku pergi ke Australia bisa
juga karena mimpi ibuku. Ia menulis “Australia” dalam daftar harapannya yang ia
tuliskan di kertas dan ia pajang di kamarnya. Mimpinya pun terwujud selama aku
di sana.
#latepost
Tidak ada komentar:
Posting Komentar