Kamis, 24 Mei 2018

Pray and Mom’s Sincere Permission


            Do’a dan Ridho Ibu

            “Pendaftaran Language Assistant dibuka.” Kata Mutiara, temanku yang menjadi guru bantu di Australia tahun 2012. Ketika itu, aku tidak berpikir untuk mendaftarkan diri. Itu karena kembali ke mimpiku di awal, aku ingin kuliah S2 – yang nantinya menunjang karirku – tidak hanya ingin tinggal di luar negeri, mengasah kemampuan berbahasa Inggris, dan menambah pengetahuanku. Lagipula, aku sedang kuliah S2 di semester satu saat itu dan aku merasa tanggung jika harus meninggalkan kuliahku. Meskipun temanku itu mengatakan bahwa mengikuti program guru bantu itu sangat bermanfaat, aku tetap tak bertekad untuk mendaftarkan diri.
            Beberapa menit kemudian, ibuku menelpon memberitahukan tentang program guru bantu itu. Aku merasa sangat heran, darimana ibuku tahu tentang hal itu. Ternyata, ibu tahu dari rekan kerjanya sesama guru di sekolah yang mengetahui program ini dari kampus tempat aku kuliah S1 dulu. Aku katakan pada ibu bahwa aku tidak akan mendaftarkan diri. Namun, karena Ibu tahu bahwa aku ingin meningkatkan kemampuan di bidangku dengan cara pergi ke luar negeri, ibu mendorongku untuk mendaftarkan diri.
“Ibu ridho kalau aku pergi ke luar negeri?” tanyaku.
            “Iya.” Jawab ibu.
            “Ibu bahagia kalau aku pergi?” tanyaku lagi.
            “Iya tentu kalau kamu bahagia juga.”
            “Tidak apa-apa aku meninggalkan kuliah?”
            “Iya tidak apa-apa, barangkali dapat beasiswa di sana.”
            Berbekal niat karena Allah, aku ingin membuat ibu bahagia dan bangga padaku, akupun beranjak dari tempat dudukku dan segera berangkat ke kampus untuk mencari info pendaftaran program guru bantu. Dalam prosesnya termasuk proses seleksi, aku senantiasa ingat bahwa jika aku bisa terpilih menjadi guru bantu di Australia, ibuku akan bahagia dan merasa bangga padaku. Aku ingin ibu bahagia oleh karenanya aku berusaha agar aku dapat terpilih. Tidak hanya usaha, aku pun senantiasa berdo’a.
Robbisy rohlii shodrii wa yassirlii amrii wahlul ‘uqdatammillisaanii yafqohuu qoulii. Ya Tuhanku, lapangkanlah dadaku, mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dalam lidahku agar mereka mengerti perkataanku” Do’aku berulang-ulang kali ketika menunggu giliran wawancara dalam proses seleksi.
Selesai wawancara, aku tidak merasa puas sampai-sampai muncul kekhawatiran bahwa aku tidak akan lolos. Peserta seleksi yang lain pun nampak bagiku lebih berpotensi terpilih. Walaupun demikian, aku sadar harus tetap optimis, tetap berharap meskipun cemas. Di perjalanan pulang dari kampus, di kala rintikan air hujan membasahiku yang mengendarai motor, aku berdo’a agar aku terpilih sehingga ibuku bahagia dan merasa bangga padaku. Akupun berdo’a berulang-ulang di salah satu waktu mustajabnya do’a itu: saat turunnya hujan.
Beberapa hari kemudian, di hari Jum'at pagi, di saat aku akan mengajar, aku mendapat sms yang berisi kabar lolosnya aku menjadi language assistant. Saat itu, betapa sangat gembiranya hatiku dicampur rasa gugup, haru, dan sebagainya tak menentu. Namun, tentunya ini sesuai harapanku dan ini merupakan kabar gembira untuk ibu, bapak, dan saudara-saudaraku.
     Semoga ini langkah yang baik yang bisa mengantarkanku mendapatkan pengalaman yang membuatku jadi lebih baik sebagai hamba Allah, sebagai guru bahasa Inggris, sebagai makhluk sosial, dan sebagainya. Aamiin.
Terwujudnya aku pergi ke Australia bisa juga karena mimpi ibuku. Ia menulis “Australia” dalam daftar harapannya yang ia tuliskan di kertas dan ia pajang di kamarnya. Mimpinya pun terwujud selama aku di sana.


#latepost

Tidak ada komentar:

Posting Komentar