Cara ke Sana
Setelah aku dan rekanku terpilih,
kami diminta untuk mengurus keberangkatan kami. Seingat aku, itu dimulai di
bulan November 2012. Dan sejak itu pula, kami dikontak oleh pihak Australia
terutama yang menangani program guru bantu yakni Clinton dan Jennifer DEECD (Department of Education and Early Childhood
Department).
Tertanggal 26 November 2012, Clinton
mengirimkan beberapa dokumen seperti panduan guru bantu (LAP guidelines), panduan informasi umum untuk peserta luar negri (General information guide for overseas
participants), panduan sebelum keberangkatan dan kedatangan (Pre-departure and arrival guide), dan informasi
untuk mengajukan visa. Aku pun dikirimi surat undangan yang nantinya diperlukan
untuk mengajukan visa.
Kepergian kami ini melibatkan dua negera:
Indonesia dan Australia dalam bingkai kerja sama program guru bantu yang
bernama Victoria Second Language
Assistant Program. Oleh karena itu, beberapa dokumen perlu disiapkan dan
dibawa. Tentu saja, dalam hal ini kami dibantu pihak kampus terutam OIER (Office of International Education and
Relations) UPI.
Beberapa dokumen yang perlu kami
siapkan di antaranya biodata termasuk personal
statement, surat tugas dari UPI, lembar aplikasi Visa, paspor, kartu
identitas, dan ijazah serta transkrip nilai, akta lahir, kartu keluarga, surat
undangan dari pihak Australia, surat pendamping visa dari sekolah tempatku di
Australia, dan surat keterangan asuransi kesehatan.
Biodata yang harus dilengkapi
berdasarkan format dari program guru bantu ini termasuk personal statement yang menceritakan tentang diri sendiri dan
rencana ke depan. Surat tugas disiapkan oleh pihak OIER dan kami tinggal
mendapatkannya. Tertanggal 13 Desember kami mendapatkan surat tugas itu. Aplikasi
visa 1416 perlu dicetak untuk diisi. Clinton memberikan informasi untuk
mengisinya. Jika tidak, kami akan sungguh kebingungan.
Aku belum pernah ke luar negri jadi passporlah
sebenarnya yang pertama kali aku siapkan karena ternyata membuat paspor cukup
memakan waktu. Untuk membuat paspor ini, aku harus ke kantor imigrasi di jl.
PH. Mustofa Bandung., mengantri untuk difoto, mengantri untuk bayar, dan
sebagainya. Hihi, ternyata untuk foto paspor ini seluruh wajah harus terlihat.
Walhasil, aku yang memakai ciput topi harus menyesuaikan ciput dan kerudungku
agar alis dan kening terlihat.
Kartu identitas, ijazah, transkrip
nilai, akta lahir, dan kartu keluarga perlu diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris. Kami menggunakan jasa penerjemah Bu Dewi yang kantornya berada di
sebrang sekolah tinggi seni di daerah Buah Batu. Kalau tidak salah ingat, biaya
per dokumennya Rp 15.000.
Surat undangan dari Clinton sudah
diterima. Surat pendamping dari sekolah kuterima dari Lea, guru Bahasa
Indonesia di Wedderburn College.
Asuransi kesehatan harus kami miliki untuk
mengajukan visa. Oleh karena itu, kami pun mencari-cari lembaga asuransi di
Australia. Setelah konsultasi beberapa orang termasuk alumni guru bantu tahun
lalu, kami memilih Iman Australian Health
dengan biaya per bulannya AUD76. Untuk dapat surat asuransinya kami harus membayar
untuk pertama kali dan untuk itu kami membutuhan kartu kredit. Waah, aku tidak
punya begitu pun orang tua atau kakak-kakakku. Akhirnya, aku meminjam kartu
kredit bibiku. Tertanggal 6 Desember 2012, pengajuan asuransiku telah diterima
Iman.
Semua dokumen itu diperlukan untuk
aplikasi visa. Ada berbagai macam visa tergantung tujuannya. Kami membuat
aplikasi visa 1416 sesuai bimbingan dari pihak Australia khususnya yang
menangani proram guru bantu ini.
Dokumen tersebut harus dalam bentuk
PDF atau image agar dapat dikirim melalu email ke Hobart.Special.Program@immi.gov.au,
department imigrasi dan kewarganegaraan. Selain mengirim dokumen-dokumen itu,
kami juga perlu membayar sejumlah uang AUD 315 dengan kartu kredit Visa,
MasterCard, AMEX atau Diners Club.
Tertanggal 17, Hobart mengabarkan
melalui email bahwa tanggal 14 Desember 2012 pengajuan visaku “was validly lodged with the Department of
Immigration and Citizenship.” Aku diinformasikan untuk melakukan tes
kesehatan yang hanya dapat dilakukan di klinik tertentu. Informasi tentang
klinik atau dokter untuk tes kesehatan tersedia di http://www.immi.gov.au/contacts/panel-dctors.
Hobart pun menginformasikan bahwa aku harus merespon email paling lambat 28
hari dari diterimanya email.
Aku pun melakukan tes kesehatan pada awal
Januari di Jakarta. Alhamdulillah tidak mengantri lama. Urinku dites. Kemudian
aku diperiksa dokter. Sempat berbincang dengan dokter akan kekhawatiranku. Aku
sempat sakit gejala thypus di bulan desember dan masih dalam pemulihan, aku
khawatir ini mempengaruhi hasil tes kesehatan dan hasil keputusan visa. Namun,
dokter bilang bahwa yang dikhawatirkan Australia adalah penyakit menular
seperti TBC. Lalu, aku pun menjalani X-ray. Perlu dua kali melakukannya, entah
kenapa. Setelah beberapa hari dari tes, aku dihubungi klinik untuk melakukan x-ray
lagi. Aku jadi khawatir apa aku kena TBC, tiba-tiba? Aku ke klinik lagi dan aku
tanya kepada petugas X-ray karena aku khawatir. Alhamdulilah, orangnya baik,
dia bilang akan mengabari segera tentang hasilnya. Setelah beberapa lama,
sebelum aku kembali ke Bandung dia mengabarkan bahwa tidak ada yang perlu
dikhawatirkan. Alhamdulillah.
Sejak itu, aku rajin mengecek
e-mail. Namun, lama hingga waktu program SLAP dimulai, kabar dari Hobart tak
kunjung datang. Aku pun harus menerima kenyataan tak bisa mengikuti pembekalan
di awal Februari di Melbourne, Australia bersama language assistant lain dari Jepang dan Tiongkok.
Beberapa hari kemudian, kabar datang
dari Tya. She is granted visa! Wah,
aku langsung cek inbox sampai spam tapi tak kutemukan e-mail dari
Hobart. Ada apa gerangan? Entahlah, apa karena aku berjilbab? Entahlah.
Ku tiba di penghujung Februari.
Akhirnya! Tanggal 21 Februari Hobart mengirim e-mail: IMMI Grant notification. Aku dapat visa! Oh senangnya,
Alhamdulillah. Aku pun segera mengabarkan orang-orang: Tya, Pak Harto (dosenku
dan kepala OEIR), dan Lea.
Lalu, aku dan Tya segera memesan
tiket pesawat. Tadinya, kami ingin cari yang termurah. Namun, dosen menyarankan
agar kami terbang bersama Garuda. Lebih aman, lebih nyaman. Dan Pak Harto ingin
kami benar-benar sampai di Australia, ga di laut. Ih, na’udzubilah. Dipikir-pikir, tentu saja. Kami kan akan melakukan
penerbangan panjang. Perlu tempat nyaman dan makanan halal. Oleh karena itu,
kami merogoh kocek sekitar 1.049,20 dolar Amerika untuk tiket pergi kami berdua.
Setelah mendapatkan e-ticket, aku dan Tya mengabarkan masing-masing
LO (Liaison Officer) kami tentang
penerbangan kami tentunya dengan harapan mereka akan menjemput kami.
#latepost
Tidak ada komentar:
Posting Komentar