Rabu, 20 Maret 2013

Hari Pertama di Wedderburn


                Hari Minggu tanggal 3 Maret, saya berangkat dengan semua barang bawaan saya, termasuk berkilo-kilo daging halal yang dibelikan LO saya, ke sebuah kota kecil sekitar 80 kilometer dari Bendigo. LO saya mengantar saya dengan mobil sedan putih milik sekolah. Kami melalui jalan tol yang mereka bilang “highway” yang tidak bergerbang. Maksudnya, tol di sini tidak seperti jalan-jalan tol di Indonesia dimana kita harus masuk melalui gerbang tol, mengambil karcis dan kemudian membayar di gerbang keluar. Dengan kata lain, mereka tidak perlu mengambil karcis dan membayar tol di sini.
                Setelah melewati kota kecil Inglewood, kemudian padang luas yang mereka katakan paddic atau farm, dan juga suatu wilayah yang membuat saya geli yakni lembah yang dinamai Korong Vale, kamipun tiba di Wedderburn. Kami berhenti di depan sebuah café untuk bertemu dengan kepala sekolah dan menyantap makan siang bersama. Kami semua, setelah saling menyapa di kafe, menuju food display untuk memesan makanan. Kepala sekolah memperkenalkan saya pada satu-satunya penjaga kafe di kafe itu. Setelah itu, LO saya bertanya tentang makanan yang halal. Alhamdulillah, ada pizza vegetarian yang bisa menjadi pilihan saya. Meskipun hanya ada sepotong pizza dengan sudut sekitar 70o, saya merasa cukup siang itu. Karena saya merasa dingin, ditambah café tersebut menggunakan AC, saya memesan hot chocolate untuk saya minum sementara kepala sekolah dan LO saya memesan minuman dingin. Hihi, kata mereka mungkin, saya aneh sekali selain karena merasa dingin tapi juga karena pakaian yang saya pakai: hijab.
                Dari kafe, kami menuju sekolah yakni Wedderburn College yang jaraknya seperti dari Stasiun kereta Bandung ke Istana Plaza di jalan Pajajaran Bandung. Namun, sebenarnya lebih dekat dari itu. Di sekolah, saya diajak tour keliling sekolah yang luasnya sekitar setengah dari luas SMKN 1 Cimahi atau seluas masjid Al-Furqon ditambah BPU dan halamannya, mungkin. Fotonya mungkin bisa dilihat di website. Saya diajak melihat setiap ruangan yang ada di sekolah termasuk ruangan staff dimana ada meja-meja berjajar yang merupakan meja kerja guru-guru. Kepala sekolah dan LO menunjukkan meja kerja saya yang posisinya dekat dengan meja LO saya, tentu saja. Ruangan staff yang lain yakni ruangan dengan meja makan besar dan kursi-kursi, sofa, kitchen set, lemari pendingin, beberapa microwave, bread baker, water dispenser, dan sebagainya, juga ditunjukkan. Amazing kan! Jadi jika waktu recess atau lunch tiba, seringkali kami berkumpul di ruangan itu.
                Setelah saya melihat semua ruangan yang ada di sekolah, saya diantar ke lapangan olahraga indoor dan outdoor. Lalu, saya pun diantar masuk ke dalam kebun sekolah yang kecil tapi terdapat beberapa tanaman termasuk mentimun besar yang saya boleh bawa pulang. Asyik!
                Dari sekolah yang berada di  15 Hospital street, kami menuju ke 1 Hospital street yakni rumah sakit yang sejak 5 tahun yang lalu telah menjadi rumah sekaligus penginapan (guest  house). Di rumah ini, tinggallah sebuah keluarga yang terdiri dari ayah (Dad) yang bekerja sebagai builder di Wedderburn, ibu (Mommy) yang merupakan ibu rumah tangga yang sibuk yang juga bekerja di kantor di Wedderburn, anak perempuan yang bekerja sebagai guru dan tinggal di kota Swanhill, anak laki-laki yang bekerja sebagai baker dan tinggal di kota Bendigo, anak laki-laki yang baru saja selesai sekolah di Wedderburn College dan kini bekerja sebagai builder juga atlet Australian Football atau Cricket, serta anak perempuan yang masih sekolah di tahun ke-7 yakni kelas 1 smp di Wedderburn College.
                Saya dan LO saya masuk ke dalam rumah. LO saya pikir, karena ini adalah guest house, orang bisa langsung masuk saja. Ternyata sebenarnya tidak demikian walaupun ketika kami masuk melewati pintu pertama, kami tiba di ruangan sekitar 2,5 x 2,5 m2 yang hanya terdapat sebuah lemari, cermin, pot tempat payung, dan meja dan kami perlu melewati pintu berikutnya untuk sampai di ruangan utama yakni ruangan keluarga rumah tersebut. Orang Sunda bilang, “blong blang” ketika masuk melewati pintu kedua karena antara ruangan keluarga atau ruang TV, ruang makan dan juga dapur tidak ada tembok yang memisahkan.
                Setelah menyapa dan bekenalan dengan pemilik rumah, saya dipersilahkan masuk ke dalam kamar yang akan saya tempati yang letaknya di bagian belakang rumah sejajar dengan dapur. Kamarnya lebih luas dari kamar saya. Sepertinya 2,5 kali lebih luas. Di dalam kamar tersebut, lantainya berbalut karpet tebal dan di atanya terdapat sebuah tempat tidur dengan kasur yang tebal, seprai, selembar kain putih yang lain, 2 lembar selimut, dan selembar quilt. Di atas kasur itu terdapat 5 buah bantal. Dua di antaranya bersarung putih, tiga lainnya berwarna dan berpola yang sesuai dengan warna selimut tebal dan quilt yang ada. Di kedua sisi tempat tidurnya terdapat meja kecil. Di atas satu meja terdapat lampu meja. Di atas meja yang lain terdapat radio sekaligus jam dan alarm. Tepat di depan tempat tidur terdapat pintu yang menghubungkan saya dengan wastafel yang pastinya terdapat cermin di atasnya. Di satu sisi wastafel merupakan ruangan berpintu yang terdapat toilet di dalamnya. Di sisi yang lain, terdapat shower serta tirai panjang yang menutupi. Oh ya, di sekitar wastafel, disediakan tempat sabun cair keramik beserta isinya, tempat sikat gigi yang terbuat dari keramik, dan sebagainya. Selain tempat tidur dan meja di kamar tidur, ada juga lemari untuk pakaian dan lemari berlaci banyak yang di atasnya terdapat sebuah TV dan DVD player. Tambah lagi, AC yang terpasang di atas TV. Jendela kamarnya pun OK karena langsung menghadap ke luar, ke jalan yang berada di sebelah kiri rumah. Keren sekali kan kamarnya!  
                Sudah keren kamarnya, keren juga fasilitas lainnya! Untuk keluar dari kamar tadi saya perlu melewati dua pintu: pintu kamar dan pintu yang memisahkan kamar-kamar dengan ruangan utama yang terdiri dari ruang keluarga dan sebagainya tadi. Di depan kamar di lorong di antara pintu satu dan lainnya, disimpan lemari es kecil khusus untuk saya. Makan pagi tinggal makan semaunya: mau makan sereal, atau apapun boleh. Makan siang juga demikian, tapi biasanya saya memasak sendiri atau memakan makanan sisa tadi malam. Di malam hari, terkadang saya memasak sendiri terkadang nyonya rumah yang memasak untuk semua. Jika makanan yang dimasak oleh nyonya rumah itu halal, itu berarti untuk semua. Namun, jika yang dimasak itu tidak halal, itu berarti untuk semua kecuali saya. Selain makanan utama, buah-buahan, susu, dessert pun boleh saya santap. Mesin cuci, vacuum cleaner, sepeda, boleh saya gunakan. Keren pokoknya! Baik sekali sih pemilik rumahnya!
                OK, setelah pemilik rumah menjelaskan mengenai kamar saya, kami berbincang sebentar bersama LO saya di ruang makan. Beberapa saat kemudian, setelah kepala sekolah datang dan melihat kamar saya, LO dan kepala sekolah saya pun pergi meninggalkan saya di rumah itu.
                Lalu saya masuk ke kamar yang kini jadi kamar saya sementara. Saya pun beristirahat alias tidur siang.

Ketika sore menjelang, sekitar jam 5, karena merasa lapar, sayapun keluar kamar. Nyonya pemilik rumah sedang menyiapkan makan malam rupanya. Kalau tidak salah ingat, saya menawarkan membantu tapi katanya tidak perlu. Jadi, saya duduk di ruang makan. Beberapa saat kemudian,  beberapa anggota keluarga pemilik rumah, berdatangan. Pertama, anak bungsunya yang perempuan pulang, sayapun lalu diperkenalkan. Selanjutnya, setelah agak lebih sore, kepala keluarga pun pulang. Lalu, anak ke-3 yakni laki-laki berumur 18 tahun.
Setelah makan malam siap dan meja sudah di-set, kami makan malam bersama. Kalau tidak salah, kami makan sayur rebus/kukus, kentang yang dihaluskan, dan daging ayam halal yang dibeli di butcher di Wedderburn.  Beberapa lama setelah makan, saya pamit untuk masuk ke kamar saya. Merekapun mengucapkan selamat malam atau good night.

                                                                           Kamar kosku

                                                         Ruangan utama rumah kos. 

Berdua saja di rumah malam ini

20 Maret 2013 pukul 9 malam waktu Australia (Victoria)

Sekarang jam 9 an malam di Wedderburn, Victoria, Australia. Malam ini, di rumah yang besar bekas rumah sakit ini, hanya ada saya dan anak bungsu pemilik rumah yakni anak perempuan berumur sekitar 12 tahun. Nyonya pemilik rumah sedang dalam perjalanan menuju Melbourne untuk mengikuti pelatihan pada esok harinya. Tuan pemilik rumah dan anak ketiganya masih dalam perjalanan dari Bendigo.

Setelah menunaikan sholat maghrib dan bertadarus Quran tadi, saya mendengar teriakan anak remaja beberapa kali. Saya pikir mungkin itu teriakan sorak sorai di lapangan olahraga yang tidak jauh dari rumah ini. Em, namun setelah beberapa kali saya mendengar, saya jadi khawatir. Bukan hantu yang saya khawatirkan melainkan seseorang yang meminta tolong dari hutan tidak jauh di belakang rumah. Saya pun segera keluar kamar, memastikan anak pemilik rumah tidak di luar sana. Lalu saya tanyakan padanya apakah dia mendengar suara tersebut. Namun, dia menjawab tidak. Sayapun bertanya lagi karena barangkali tadi saya tidak bertanya dengan jelas, dia jawab tidak. Ah! Tidak mungkin suara hantu! Bisa saja dia tidak mendengar karena dia sedang berada di kamarnya yang berada di bagian depan rumah. Sedangkan kamar saya berada di bagian belakang rumah. Kemudian dia pun menuju jendela depan rumah dan saya mengikutinya. Lantas kemudian, dia berteriak seperti ini, "ou u u u..." melalui jendela. Tak berapa lama, suara yang sejak tadi saya dengar beberapa kali terdengar kembali membalas sahutan anak pemilik rumah. Oh oh, ternyata, kata anak pemilik rumah, suara teriakan yang saya dengar adalah suara anak-anak yang sedang berjalan di gelapnya malam. Sepertinya sih gelap, tidak ada lampu jalan, karena kami tidak bisa melihat apa-apa di luar jendela sana. Oh, dan ternyata begitu ya cara berkomunikasi remaja di sini. Dengan memberikan teriakan, teriakan pula yang didapatkan. Jadi saya tahu suara apa itu.

Selasa, 12 Maret 2013

This year is the opposite year for me

Penonton setia acara Spongebob Squarepants atau penonton TV yang secara tidak sengaja menonton tayangan tersebut mungkin mengetahui bahwa di Bikini Bottom tempat Spongebob dan kawan pink-nya tinggal, Spongebob dan kawan-kawan memiliki hari kebalikan.

Mungkin mereka hanya mengalami segala hal terbalik dalam satu hari saja tapi tidak dengan saya. Saya akan menyaksikan atau mengalami banyak hal terbalik sepanjang tahun ini. Itu karena saya sekarang hingga akhir tahun ini tinggal di Australia, di Wedderburn, Victoria.

Masih melekat dalam ingatn saya, bbrp hr yg lalu, di hari ketiga saya berada di Wedderburn yang merupakan hari kedua saya pergi bekerja ke sekolah, saya bersama anak bungsu pemilik rumah berangkat bersama ke sekolah. Pintu depan paling luar saat itu belum dibuka. Sebelum kami berjalan keluar melalui pintu itu, dengan inisiatif saya mencoba membuka kuncinya dengan memutarnya ke arah kiri. Namun. Yang terjadi adalah pintu itu masih terkunci!

Lalu, perihal cara makan, orang-orang memasukkan makanan dengan tangan kirinya. Ya, hal ini saya perhatikan terutama dari keluarga di rumah tempat saya tinggal. Sebelum makan, meja biasanya ditata dengan garpu, pisau, gelas, botol berisi air minum, dsb. Yang saya lihat adalah posisi garpu yang berada di sebelah kiri. Ya, hal ini bukanlah hal yang aneh bagi saya yang beberapa kali melihat hal serupa di TV dan pernah mengikuti acara table manner ala barat. Ketika makan dimulai, tanpa rasa malu saya menukar posisi garpu dan pisau di depan saya sehingga saya tetap makan dengan tangan kanan. Itu saya lakukan karena saya ingin menjadi hamba Allah yang baik dan pengikut Rasulullah SAW yang baik dengan mengikuti salah satu sunnah Rasulullah yakni makan dengan tangan kanan. Hehe.

Hari Sabtu lalu, ada semacam pasar kaget di sekitar Jacka Park (saya tidak yakin ejaannya benar). Setelah menyetrika beberapa baju, saya berjalan kesana yang tidak begitu jauh dari rumah (secara ini kota yang sangat kecil seperti satu kelurahan). Sepanjang saya berjalan, ada beberapa mobil melintas. Kalau boleh GR ya, beberapa pengemudi mobil-mobil itu memperhatikan saya ketika mereka berlalu. Mungkin dalam pikiran mereka, "Siapa ini? Aneh sekali di hari yang sangat panas memakai pakaian tertutup dari ujung rambut hingga ujung kaki" Hingga akhirnya saya tiba di taman, orang-orang di parkiran memperhatikan saya yang dengan PD nya melenggang mencari ibu kos yang menggelar lapak di pasar kaget itu. Aduh, saya merasa seperti bule yang datang ke Garut. Biasanya kalau di Indonesia kan saya yang suka memperhatikan 'bule-bule' yang datang ke kota atau desa. Hari itu, eh saya yang jadi 'bule'-nya. Terbalik bukan?!

Kemudian, hari ini ketika membantu ibu kos menyiapkan makan malam, saya mengupas wortel dari arah luar ke dalam (ke arah saya). Padahal, kalau di Indonesia, saya mengupas buah atau sayur dari arah dalam ke luar.

Dan beberapa hal lagi yang berkebalikan dengan saya...

Minggu, 10 Maret 2013

Bendigo: to the city and the farm


(2 Maret 2013)


Malam di sini, ditunjukkan oleh jarum jam di jam dinding. Kalau tidak salah, jam dinding menunjukkan pukul 7, padahal matahari belum terbenam. Waktunya makan malam, asyik aku bisa merasakan makan malam ala orang Australia bersama keluarga Australia. Malam itu, anak laki-laki yang bertugas set-up meja makan: menyimpan garpu, piring, dan pisau di atas meja, lalu gelas dan botol air di tengah-tengah meja. Setelah meja makan siap dengan peralatan makan, anak perempuan bertanya pada bapaknya apakah dia bisa duduk di sebelah saya. Oh,  so sweet! I love these kids. They are nice. Lalu bapaknya menjelaskan kepada saya, dan saya pun mengiyakan.
Kamipun kemudian makan malam bersama. Saya duduk di sebelah anak perempuan itu. Malam itu, kami makan ayam panggang bagian paha, sayuran rebus seperti kacang panjang dan labu kuning. Kalau boleh jujur, makanannya not as tasty as Indonesian foods alias tidak berasa asin atau gimana. Alhamdulillah, LO saya mempunyai sambal indofood sehingga bisa saya tambahkan ke dalam makanan saya. Dengan demikian, saya bisa menikmati makan malam dengan enak dan bisa menghabiskan sepiring makanan yang disediakan. Makan malam kami nikmati hingga waktu menunjukkan hampir pukul 8. Saat itu, saya bertanya jam berapa biasanya orang Australia tidur. LO sayapun menjawab bahwa anak-anak biasanya tidur jam 8 dan orang dewasa sekitar jam 9. Oh, hampir sama. Sayapun akhirnya memutuskan untuk masuk ke kamar saya dan tidur setelah sikat gigi dan mencuci muka.
Oh, ternyata saya lelah sekali. Saya tidur hampir 12 jam. Saya bangun setelah jam 8 pagi. Saya tetap tidur ketika di pagi hari sekali sekitar jam 6, saya mendengar seseorang telah bangun dari tidurnya, yang ternyata anak laki-laki itu. Saya sedang tidak sholat hari itu dan juga LO saya kemarin memberitahu saya bahwa saya bisa tidur lama hingga jam 9 an karena tidak ada begitu banyak agenda di hari itu.
Setelah saya bangun, saya langsung bersiap mandi. Ketika keluar, LO saya menyapa saya, “Good morning, Restri? Did you have nice sleep?” Saya jawab, “Morning. Yes, sorry I am too sleepy so I sleep long time.”  Dan sedikit percakapan tambahan. Aduh, saya berbicara bahasa Inggrisnya belepotan.
Setelah mandi dan bersiap saya dan LO saya berangkat menuju pusat kota untuk mengirimkan formulir WWC dan TFN. Namun, ketika tiba di kantor pos lewat dari jam 11, petugas di kantor pos berkata bahwa mereka bisa melakukannya sebelum jam 11. Dan lagi, hari itu, sabtu, mereka buka hingga pukul 12 siang saja. Oleh karena itu, saya hanya minta difoto saja di kantor pos tersebut. Hah! Ternyata kita bisa difoto, pas foto, di kantor pos! Tidak ada studio foto gitu di sini?  Hehe.
Setelah itu, kami mampir di Op shop karena saya ingin membeli sweater dengan harga murah. Saya pun membeli sweater hitam panjang seharga sekitar 78 dolar Australia. Lalu, kami pun pulang ke rumah. Sudah waktunya makan siang sebenarnya tapi kami tanpa makan siang, saya, LO, pasangannya serta anak-anak pergi ke pusat kota. Setelah memarkirkan mobil di pusat kota, kami berjalan menyusuri took-toko menuju Rosalind Park. Kami berjalan hingga ke bukit dan kami menaiki tower yang ada di sana. Melihat sekililing Bendigo begitu beda namun indah.
Mengingat pesan dosen bahwa kita tidak bisa sembarang mengambil foto, saya bertanya pada LO saya, “Can I take a picture?” Iapun mengiyakan. Kemudian saya mengambil beberapa foto pemandangan. Em, sebenarnya saya ingin mengambil foto saya sendiri, tapi malu. Lalu, yeh, pasangan LO saya berkata pada LO saya barangkali saya ingin bantuan untuk mengambil foto saya. Akhirnya, LO saya pun mengambilkan foto saya dengan background pemandangan bendigo dengan HP saya.
Setelah itu, kami turun dari tower dan berjalan menuju tempat kami memarkirkan mobil. Oh! Ada orang berpenampilan superman. Wow! Tunggu dulu! Orang itu hanya memakai celana dalam merah dan sayap merah sedangkan seluruh tubuhnya dicat warna biru. Ih!
Ok, lanjut lagi. Setelah LO saya membeli makanan untuk makan siang kami, kami melaju menuju Weroona Lake. Kami menikmati makan siang kami bersama di bangku dan meja di pinggir danau. Siang itu kami memakan makanan ala Turki: roti Turki yang besar dengan 3 jenis selai asin di masing-masing container (baca: misting) nya. Ternyata, di suatu tempat di pinggir danau, akan diselenggarakan wedding. Setelah selesai makan, sambil menunggu acara wedding mulai, saya bermain bersama anak-anak. Yang paling antusias dan paling mengikuti permainan adalah anak laki-laki. Kami, saat itu, bermain lempar ranting. Masing-masing kami memegang 2 batang ranting kecil. Yang satu untuk memukul ranting lain. Yang satu untuk dipukul. Semakin jauh ranting yang dipukul terlempar, semakin bagus dan itu artinya menang. Setelah beberapa lama bermain, kami berjalan-jalan mengelilingi danau. Namun, ketika kami melihat wedding akan segera berlangsung, kami segera berjalan memutar arah menuju ke sisi danau dimana wedding diselenggarakan.
Memang bukan hal yang aneh, acara pernikahan seringkali saya saksikan dengan langsung di Indonesia tapi dengan budaya Islam. Menyaksikan acara pernikahan budaya barat pun sebenarnya tidak aneh karena beberapa kali dapat disaksikan di film-film hollywood atau beritanya. Meskipun demikian, ini baru pertama kalinya bagi saya menyaksikan acara pernikahan gaya barat secara live, langsung..well ga ada yang aneh, hehe.
Setelah beberapa lama, LO saya mengajak saya untuk meninggalkan acara itu dan menghampiri anak-anak yang menunggu beberapa meter dari kami. Kemudian kami beserta anak-anak, masuk ke playing ground yang masih berada di sekitar danau. Senang, melihat anak perempuan yang bersama kami tertawa gembira karena diayunkan dengan keras oleh ayahnya di ayunan. Namun, dia jadi menangis ketika ayahnya memutuskan agar kami meninggalkan tempat itu.
Kami berjalan menyusuri sisi danau lagi untuk sampai ke tempat parkir. Sepanjang jalan kami, kami memandangi danau yang di permukaannya terdapat beberapa bebek kecil dan seekor angsa. Kami juga melihat hidung kura-kura yang muncul di permukaan air danau. Anak laki-laki meminta saya memperhatikan bebek kecil yang menyelam ke dalam air untuk mengambil makanan di dalam. Saya coba menghitung berapa lama bebek itu di dalam air. Ternyata, bebek tersebut berada di dalam air selama sekitar 10 hitungan lambat atau 10 detik.
Dari danau, kami menuju rumah kembali. Di rumah, setelah saya membereskan koper, tas jinjing, dan tas gendong saya, kami berangkat menuju rumah orang tua pasangannya di farm. Asyik! Saya bisa merasakan tinggal di farm.
Beberapa lama kemudian, kami tiba di farm. Karena pintu depan rumah di kunci, kami jalan ke belakang rumah untuk dapat masuk ke dalam rumah. Aduh! Ternyata mereka punya anjing buldog kecil, tiga lagi! Oh ya, LO saya juga mempunyai anjing besar seperti Scooby Doo tapi dia menempatkan anjingnya di belakang rumah dan tak membiarkannya masuk ke dalam rumah. Ok, kembali lagi. Anjing-anjing buldog kecil tadi berusaha untuk mendekati saya. Oh, tidak! Saya pun dengan segera bereaksi, mundur untuk menghindari mereka. Untung yang punya anjing dan yang lain segera bertindak, menyuruh mereka pergi. Setelah diijinkan masuk rumah, sayapun segera masuk rumah.
Wah! Rumahnya bagus. Dapurnya, ruang tamunya, kamar mandinya, kamar tidurnya bagus semua. Saya senang kali ini karena alhamdulillah semua kamarnya bisa dikunci. Kamar mandi dan toiletnya juga bisa dikunci!
Saya dibiarkan untuk tidur di kamar yang bagus sekali. Mereka bilang itu adalah princess room. Oh, indeed! Karena bagus sekali kamarnya.
Setelah beberapa menit duduk di kasur yang sangat nyaman, anak laki-laki datang menghampiri. Dia memberitahukan saya bahwa ada burung di suatu tempat. Entahlah, saya tidak bisa benar-benar mengerti perkataannya. Namun, ketika dia mengulangi lagi perkataannya, saya yakin dia ingin sekali saya melihatnya. Saya pun ikut bersamanya ke ruangan laundry dimana disitu ada mesin cuci, tentunya, dan peralatan mencuci, mungkin, di dalam lemari, dan juga sebuah sangkar burung beserta burungnya.
Anak laki-laki itu senang sekali mengganggu burung tersebut sehingga burung tersebut terbang kesana kemari di dalam ruang laundry. Setiap kali burung itu terbang, kami dengan serunya tiarap. Setelah beberapa lama, anak perempuan bergabung dan kami semua sambil tertawa, tiarap setiap kali burung terbang berkeliling di atas kami di ruang laudry yang sempit kira-kira 2,5 x 3 m2.
Beberapa menit kemudian, saya, LO saya dan pasangannya meninggalkan farm menuju ke suatu tempat seperti aula atau auditorium yang biasanya digunakan untuk pameran atau sejenisnya. Malam itu, kami kesana dalam rangka menghadiri acara lelang amal untuk membantu suami dari salah satu guru di Wedderburn college yang mengalami kecelakaan bersepeda dan harus dirawat selama berbulan-bulan.
Sudah banyak orang yang hadir di dalam ruangan itu. Ada banyak meja-meja bundar dikelilingi kursi-kursi, panggung, barang-barang yang dilelang dari mulai kaos olahraga bertanda tangan atlet ternama sampai crane penggali, dan sebagainya.
Keesokan pagi, meskipun merasakan kantuk berat, saya bersemangat untuk bangun dan mandi untuk berjalan-jalan di sekitar farm dan melihat kangguru yang hanya keluar ketika langit dan udara tidak panas. Setelah bersiap saya segera keluar dan berkata, “Can I have a walk around this farm?” mereka langsung mengiyakan.
Setelah memastikan bahwa anjing-anjing buldog itu tidak berkeliaran di luar tapi diam di kandang, saya keluar dan berjalan mendekati ladang luas terhampar dimana ada beberapa kangguru sedang menyantap sarapan pagi. Mengetahui saya berada di balik pagar yang membatasi saya dan mereka, mereka tidak melanjutkan makan mereka. Mereka terus memperhatikan saya karena sepertinya mereka merasa terancam dengan kehadiran saya. Karena bosan hanya diam dan memandangi mereka, saya berjalan ke arah lain menuju ke dalam hutan. Kangguru yang mengetahui kedatangan saya, segera berlari meloncat-loncat masuk ke dalam hutan lebih dalam sehingga saya tidak bisa melihat mereka dari dekat. Hutannya tidak begitu menakutkan, mungkin karena saya pernah berjalan di hutan di atas gunung malam-malam hanya bertiga sewaktu saya masih menjadi anggota pramuka di SLTA. Lagipula, ketika saya jalan di hutan di sekitar farm, waktunya masih pagi, dan hutannya tidak begitu lebat dengan pohon-pohon.
Well, setelah mengambil beberapa foto diri sendiri dan merekam sebentar burung-burung berkicau, saya berjalan keluar dari hutan. Ketika saya telah dekat rumah, anjing buldog menghampiri saya dengan gembiranya tapi saya tidak gembira! Saya mundur dan mundur seiring anjing itu mendekati saya maju dan maju. Saya pun sambil berteriak agar orang menjauhkan anjing itu dari saya. Dan anak-anak kemudian menjauhkannya dari saya. Hem, saya merasa sedikit tidak enak sebenarnya karena hal ini, tidak suka anjing, adalah hal yang aneh di sini. Saya juga sedikit merasa tidak enak pada anjing itu. Sebenarnya, dia baik dan hanya ingin mengenal saya, hehe, tapi saya tidak mau.
 Saya berjalan ke bagian belakang rumah untuk masuk. Aduh! Masih ada anjing yang lain! Saya pun segera masuk ke dalam rumah melalui dapur. Uhh!
Saya ditawari sarapan, ya tentu saja saya terima karena saya sangat lapar. Saya hampir tidak bisa melewatkan sarapan pagi karena sarapan pagi sangatlah penting. Saya dibuatkan roti bakar dengan selai apricot, homemade. Aduh! Saya tidak tahu saat itu kalau roti tawar bisa juga mengandung zat yang tidak halal. Saya baru tahu hal itu setelah beberapa hari di Australia dan saya membaca komposisi yang terdapat dalam roti tawar. Komposisi yang meragukan itu adalah emulsifier E471.
Setelah sarapan, saya meyiapkan barang-barang saya untuk pergi lagi, ke rumah LO saya dulu, lalu ke Wedderburn, kota (suburb) dimana Wedderburn college berada.
Foto Pemandangan kota Bendigo dari atas tower di Rosalind Park. 

Ada yang lucu, dasar anak kecil, hehehe


(1 Maret 2013)

Oh ya, ketika di pusat kota Bendigo, saya dan LO saya menyempatkan berbelanja beberapa bahan makanan. Melihat ada sayuran campur seperti kol putih, kol ungu, dan yang lainnya terbungkus telah diiris, saya jadi ingat bala-bala. Saya pun bertanya pada LO saya apakah saya bisa membuat bala-bala di rumahnya nanti. Diapun mengiyakan dan mengijinkan saya mengambil bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat bala-bala.
Sampai di rumah, setelah beberapa lama, anak-anak datang. Satu di antaranya adalah anak laki-laki berumur sekitar 11 tahun. Satu lagi, anak perempuan yang lebih muda berumur sekitar 6 tahun. Anak laki-laki tersebut begitu sopan, baik, dan lucu. Ketika masuk rumah, dia langsung menyapaku, “Hi, Restri” sambil tersenyum. Ih lucunya. Lalu saya membalas sapanya dan bertanya dimana adiknya. Diapun menjawab sambil tersenyum. Kemudian, masuklah anak perempuan yang dimaksud. Dia sepertinya pemalu sehingga dia tidak menyapaku duluan. Oleh karenanya, saya menyapanya terlebih dulu.
Waktu menunjukkan pukul berapa gitu di sore hari kalau di Indonesia. LO saya mulai memasak. Karena tahu saya makan yang halal. LO saya memasak daging ayam yang dibeli di sebuah butcher di Bendigo dan berlabel halal. Saya pun membuat bala-bala dengan bahan-bahan yang ada. Umm, saya, untuk pertama kalinya, menggunakan garam dan merica dengan suatu alat yang mengharuskanmu memutar-mutarnya agar garam dan mericanya bubuk dan keluar. Sudah beberapa kali saya tambahkan garam ke adonan bala-bala saya, tapi tetap tidak terasa asin. Setelah adonan digoreng dengan minyak, bukan minyak kelapa, jadilah beberapa buah bala-bala, cukup banyak ternyata. LO saya mencobanya dan dia bilang enak, entah apakah dia benar-benar merasa itu enak. Pasangannya pun makan, begitu juga anak laki-lakinya. Tapi tidak dengan anak perempuan yang tidak suka sayur ini.
Setelah beberapa lama, karena makan malam belum siap, anak-anak meminta saya melihat dan masuk ke kamar mereka. Mereka bilang, “Can I show you my room?” Saya bilang, “Pardon.” Karena saya tidak terlalu bisa menangkap perkataan mereka dengan lafal yang kurang jelas. Setelah dijelaskan LO saya, sayapun mengiyakan. Lalu, sayapun masuk ke dalam kamar mereka. Mereka langsung begerak menunjukkan mainan-mainan yang mereka punya. Saya merasa senang saja meskipun masih merasa lelah karena perjalanan panjang dari Indonesia ke Australia. Karena senang, saya senyum-senyum saja dengan semua yang mereka katakan dan tunjukkan. Suatu waktu saya jadi tertawa dan LO saya yang mengintip sebentar pun tertawa ketika anak laki-laki menunjukkan kertas berbentuk orang yang berlipat-lipat banyak dan bertanya, “Do you have paper?” Dengan jelas sambil tersenyum, “Yes, of course, I have paper. There is paper in Indonesia.”

Melbourne to Bendigo


(1 Maret 2013)

Setelah beberapa lama menunggu di sebuah warung kopi di bandara, LO sayapun tiba. Dia adalah seorang wanita berumur 29 tahun, bertubuh tinggi, berkulit putih, berhidung mancung, berambut gaya Jamaika, dan bertindik di hidung. Meskipun ini pertemuan pertama kami, saya tidak merasa canggung karena kami sudah berkomunikasi melalui email sejak beberapa bulan yang lalu. Kamipun bersalaman dan cium pipi kanan serta kiri.
Kemudian, kami berjalan menuju ke tempat parkir dimana pasangan LO saya menunggu. LO saya membantu saya membawakan koper saya ke tempat parkir. Lalu, pasangannya membantu saya mengangkatnya dan memasukkannya ke dalam bagasi mobil. Itu setelah saya diperkenalkan kepadanya tentunya.
Dengan mobil sedan putih, kami melaju menuju Bendigo, kota dimana mereka tinggal bersama. Kami berbincang-bincang sedikit di dalam mobil. Dengan malu-malu saya merekam sebentar pemandangan di jalan untuk saya bagikan dengan keluarga dan teman di Indonesia. Wah! Mata saya jauh memandang karena sepanjang jalan di luar Melbourne, yang saya lihat adalah padang yang luas dengan rumput yang tidak hijau. LO saya pun menjelaskan bahwa hujan sudah lama tidak membasahi ladang ini sejak cukup lama.
Setelah beberapa lama melaju dan kami tiba di deretan toko-toko, kami mampir sebentar di sebuah kafe. Satu hal yang ingin saya lakukan adalah minum. Oleh karenanya, saya segera mengambil sebotol air mineral di dalam kulkas di kafe tersebut. Lalu, LO saya menawarkan jika saya ingin membeli kue. Saya tanya padanya apakah ada kue yang halal. Saya tidak ragu bertanya demikian pada LO saya karena pernah suatu ketika kami berkomunikasi melalui email, LO saya memberikan informasi bahwa daging halal ada di kota Bendigo tapi tidak di Wedderburn. Sejak itu, saya tahu bahwa LO saya tahu bahwa muslim memilih makanan. LO sayapun kemudia membantu memilihkan. Dia memilih kue khas Autralia bernama Lamington. Katanya kue ini hanya terbuat dari kue  biasa, coklat, dan selai. Untuk memastikan saya kembali bertanya pada LO apakah kue ini mengandung gellatin karena biasanya beberapa coklat mengandung gellatin yang belum tentu kehalalannya. Wah! LO saya memang baik. Dia kemudian membantu saya mencari tahu dengan bertanya kepada pelayan kafe tentang kandungan kue Lamington tersebut. Setelah ditanyakan, ternyata kue tersebut tidak mengandung gellatin. Oleh karenanya, saya membeli kue tersebut. Wah! LO saya baik. Dia membayar sebotol minum dan kue yang saya ambil. Asyik! Tidak keluar uang.
Setelah pasangan LO saya meminum segelas kopi, kami berangkat menuju rumah LO saya. Rumahnya tidak luas tapi lebih luas daripada rumah saya. Ada 7 ruangan di rumah itu. Satu ruang adalah kamar tidurnya. Satu ruang adalah kamar tidur anak-anak. Satu ruang digunakan untuk penyimpanan. Satu ruang digunakan seperti ruang kerja dan selama ada saya, ruangan ini dijadikan kamar tidur saya. Satu ruangan adalah kamar mandi. Ruangan lainnya adalah dapur dan ruang TV sekaligus ruang tamu dan keluarga.
Setelah beberapa saat berada di rumah LO saya. Mereka menyiapkan kasur untuk saya tidur di ruangan kerja yang tadi saya sebutkan. Setelah siap, LO saya menawarkan agar saya mandi atau istirahat. Saya merasa sangat lelah karena tidak tidur cukup di pesawat. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk istirahat terlebih dulu. Sayapun kemudian masuk kamar yang ternyata tidak ada lubang kuncinya sehingga saya tidak bisa menguncinya. Saya tidur dengan masih memakai kerudung karena khawatir saya masih dapat dilihat dari luar dengan kondisi pintu geser yang tidak terlalu bisa tertutup rapat.
Setelah merasa cukup beristirahat, sayapun bangun. Saya siapkan peralatan mandi dan pakaian untuk saya bawa ke kamar mandi sehingga saya bisa berganti pakaian di kamar mandi yang saya pikir terdapat kunci pada pintunya. Tapi ternyata, ketika saya sudah masuk di kamar mandi yang kering itu, pintunya tidak memiliki lubang kunci bahkan tidak ada benda apapun yang bisa mengunci pintunya! Aduh! Bagaimana ini?!
Anyway, saya tetap mandi dengan masih memakai pakaian yang saya pakai sejak kemarin!
Tak berapa lama setelah saya mandi, LO saya menawarkan jika saya ingin makan. Saat itu, entah kenapa saya belum merasa lapar. Jadi, setelah bersiap kami langsung pergi ke pusat kota Bendigo tanpa makan siang. Pertama, kami pergi ke toko OPTUS untuk membeli simcard OPTUS, salah satu provider di Australia yang disarankan language assistant tahun lalu. Aduh! Saya tidak bisa begitu mengerti ketika petugas OPTUS menjelaskan beberapa hal kepada LO saya. Setelah itu, kami ke Bendigo Bank agar saya bisa membuat rekening tabungan di bank tersebut. Salah satu cutomer service membantu kami dan menjelaskan beberapa jenis rekening dan kartu ATM. Saya berusaha untuk benar-benar berkonsentrasi agar bisa mengerti apa yang dikatakan customer service tersebut. Terkadang atau bahkan seringkali saya berkata, “Pardon.” agar orang tersebut mengulangi perkataannya. Dan seringkali juga saya melihat ke arah LO saya, mengisyaratkan bahwa saya perlu penjelasan dengan bahasa yang lebih sederhana. Alhamdulillah, LO saya bisa menjelaskan dengan bahasa dan kecepatan berbicara yang saya bisa tangkap dan mengerti. Dari bank, kami berjalan menuju kantor pos untuk mengambil formulir Working With Children (WWC) di kantor pos yang tidak jauh dari bank. Saya harus membuat aplikasi WWC agar saya mendapat ijin bekerja di sekolah yang mengharuskan saya terlibat bersama anak-anak. Dari kantor pos, kami menyebrang jalan ke News Agency untuk mengambil formulir Tax File Number (TFN). Semua orang yang bekerja di Australia, baik yang wajib pajak atau tidak, harus punya TFN semacam NPWP di Indonesia. Namun, di akhir suatu bulan, katanya, saya akan mendapatkan kembali uang-uang yang saya bayarkan untuk pajak karena saya dengan gaji sekian yang saya dapat bukanlah merupakan wajib pajak.
Satu hal yang membuat saya amazed sejak dari toko OPTUS adalah mereka, para petugas, ramah-ramah. Mereka menyapa duluan, menanyakan kabar, dan sebagainya, “Oh, hi, how are you going? Can I help you?” Juga para pelanggannya mengantri dengan tertib.
Satu hal lagi, di setiap pertigaan atau perempatan atau perlimaan, mobil yang dikemudikan LO saya ini selalu berhenti terlebih dahulu meskipun tidak ada lampu lalu lintas. Mobil ini berhenti dan membiarkan mobil dari arah kanan, jika ada, melaju duluan. Wah! Tertib! Saya heran lalu saya tanyakan kenapa dia selalu berhenti begitu. Dia bilang, peraturan mengatakan bahwa kamu harus membiarkan kendaraan dari arah kanan berjalan terlebih dahulu, sebelum kamu.

Rabu, 06 Maret 2013

Australia, I'm here


Australia, I’m here (1 Maret 2013)
Alhamdulillah, saya bisa menulis/mengetik juga setelah beberapa hari di Australia dan terlalu sibuk dengan persiapan dan sebagainya.

Hari ini, Rabu malam, tanggal 6 Maret 2013, adalah hari ke enam saya berada di Australia. Dan saat ini, saya berada di Wedderburn, salah satu kota yang sangat kecil di negara bagian Victoria, Australia.

Sebelum saya menceritakan mengenai Wedderburn, saya akan menceritakan apa yang terjadi sejak saya meninggalkan rumah.

Saya berangkat dari rumah sekitar pukul tujuh pagi bersama ibu dan bapak saya. Sayapun tiba di kampus sekitar pukul setengah delapan. Setelah menunggu beberapa saat, saya dan Teh Tya menemui Pak Didi Sukyadi, dekan baru FPBS. Kami mendapat wejangan yang sangat bermanfaat. Beberapa di antaranya adalah bahwa kami harus menjaga jati diri kami sebagai muslim dan bangsa Indonesia: tidak perlu mengikuti apa yang mereka makan terutama yang diharamkan, tidak perlu mengikuti gaya berpakaian mereka, dsb. Kami juga diamanatkan untuk menjaga nama baik diri sendiri, keluarga, universitas, dan negara. Wah! Nasihat beliau bagus. Oya, dan satu lagi, beliau bilang bahwa kami perlu menghafal lagu “watching matilda…” yang katanya merupakan lagu nasional Australia yakni lagu yang semua warga negara Australia tahu.

Setelah itu, kami bersiap kembali di Office of International Education and Relation. Keluarga kami pun turut serta menunggu hingga waktu keberangkatan kami ke bandara internasional di Jakarta. Pukul 10, saya dan Teh Tya masuk mobil kampus bersama staf OIER dan supir. Sementara itu, keluarga kami masuk ke dalam mobil masing-masing. Kami semua kemudian berangkat menuju Jakarta.

Di perjalanan, saya merekam kota Jakarta sebentar. Barangkali ada siswa bahasa Indonesia di Australia nanti ingin mengetahui bagaimana kota Jakarta. Setelah tiba di bandara, staf OEIR dan supir membantu menurunkan barang-barang saya dan Teh Tya dari mobil. Lalu, mereka pergi meninggalkan kami. Petualangan kami berdua belum mulai saat itu, keluarga kami masih menemani hingga saatnya kami harus masuk untuk check in, boarding, dan take-off.

Oh, agar nanti ketika waktunya, saya dan Teh Tya tidak terlalu ‘riweuh’, kami memutuskan untuk check-in terlebih dahulu meskipun belum ada panggilan. Jadi di terminal 2 E dan F kami masuk ke dalam gedungnya. Lalu kami masuk kembali di F1 atau F2. Ketika masuk, kami harus menyimpan segala yang kami bawa di atas papan berjalan sehingga kemudian barang-barang kami masuk ke dalam alat pemeriksaan seperti X-ray. Kami pun harus melewati suatu alat yang dapat mendeteksi logam, dsb. Setelah itu, kami menuju ke antrian untuk check-in. Kami harus check-in di loket yang tepat sesuai dengan maskapai, jenis penerbangan, dan status kami sebagai pelanggan tak tetap Garuda jadi kami mencari loket dengan tulisan Garuda international apa gitu. 

Di loket check-in kami harus menimbang barang yang hanya akan masuk bagasi yakni koper. Kami sempat khawatir jika kami akan harus membayar sejumlah uang karena kelebihan beban. Kami bertanya melalui email ke alamat dimana kami memesan tiket secara online. Mereka mengatakan bahwa kuota bagasi kami hanya 20 kg. alhamdulillah, ketika di loket, dikatakan oleh petugasnya bahwa kuota kami masing-masing adalah 30 kg. Dengan demikian, meskipun berat koper saya sekitar 26 kg, saya tidak perlu membayar sepeser uang pun. Di loket tersebut juga, kami mendapatkan kartu bagasi kami dan nomor tempat duduk kami di pesawat nanti.

Setelah itu kami lakukan, kami kembali keluar dengan membawa tas yang akan kami simpan di kabin pesawat. Kami pun menikmati waktu-waktu terakhir kami bersama keluarga di bandara. Kami mengambil foto kami dan keluarga beberapa kali di bandara. Kami makan, minum, dan berbicara dengan keluarga di bandara hingga pada suatu waktu sekitar jam 5 sore... saya mendengar nomor penerbangan kami dipanggil lengkap dengan tujuan dan waktu keberangkatan. Inilah saatnya kami masuk untuk boarding yakni untuk menunggu di ruang tunggu kemudian masuk ke pesawat beberapa menit kemudian. Kami pun pamitan dengan keluarga. Hehe, lucu atau bagaimana ya, tidak satupun baik saya maupun keluarga saya menangis ketika berpisah. Ya, mungkin karena kami semua tahu bahwa pergi ke luar negri, ke Australia, telah menjadi mimpi saya sejak lama dan kami semua bahagia mimpi saya terwujud. Yang membuat saya ingin menangis adalah ketika melihat Teh Tya dan keluarganya menangis, hehe.

Saya dan Teh Tyapun masuk melalui pintu F1. Oh iya, di sekitar loket check-in kami sempat mengambil foto kami berdua beberapa kali di tempat berbeda menggunakan front-camera di HP saya. Soalnya malu ah kalau menggunakan kamera biasa, hehe. Untuk menuju ruang tunggu, ternyata kami harus berjalan cukup jauh, ya sekitar 200 meter. Di ruang tunggu, kami melihat banyak ‘bule’. Ada tiga orang di antaranya yang berdiri tidak duduk. Dalam pikiran saya, mungkinkah tiga ‘bule’ ini orang Australia yang akan pulang ke Melbourne?

Untuk memasuki pesawat, ternyata kami harus keluar turun dari ruang tunggu lalau naik bis di sekitar lapangan terbang dimana banyak pesawat parkir. Ini adalah pengalaman pertama kami. Karena sebelumnya, sewaktu kami masing-masing melakukan penerbangan domestik, kami langsung masuk ke pesawat, tidak naik bis dahulu.

Di pesawat, para pramugrari tidak berpantomim menunjukkan prosedur keselamatan. Prosedur keselamatan itu ditunjukkan dalam video di TV kecil di setiap bagian belakang kursi. Kami tentu mematikan HP kami terutama ketika diumumkan. Sabuk keselamatan di kursi pun kami pasang ketika lampu kecil di atas di bagian bawah kabin mengisyaratkan demikian.

Wah, ini waktunya makan malam, dapat makanan tidak ya? Tanya saya dalam hati ketika pesawat sudah terbang selama sekitar satu jam sejak jam 6 sore.

Alhamdulillah, ternyata, kami semua mendapatkan makan malam di pesawat. Mengingat pengalaman saya sekitar sebulan yang lalu, sebelum melahap makanan tersebut, saya cek terlebih dahulu ingredient. Namun, tidak ada ingredient dituliskan di setiap bungkus makanannya karena hanya mentega yang dibungkus yang lain tidak. Oleh karena itu, saya tanya pramugari yang membagikan makanan, apakah makanan tersebut halal atau tidak. Setelah dia bilang ya, saya langsung makan karena saya lapar. Jadi, ini adalah pengalaman pertama kami yang lain yakni makan di pesawat. Yang kami makan saat itu adalah sepotong kecil roti dan mentega keju, nasi dengan daging sapi ditambah saus pedas, dan puding. Minumnya saat itu, saya pilih orange juice, jika tidak salah ingat, hehe.

Masih ingat pertanyaan saya mengenai tiga ‘bule’? Sepertinya jawabannya iya. Tidak kami sangka, tiga ‘bule’ tersebut duduk dua bangku di depan kami. Setelah kami tiba di Bali, mereka bertanya pada pramugari mengenai penggantian pesawat yang akan ke Melbourne. Oh, sayapun langsung memberi tahu Teh Tya untuk mengikuti tiga ‘bule’ itu.

Kemudian, kami turun dari pesawat mengikuti ‘bule-bule’ tadi. Ups, jangan terlalu dekat, nanti mereka merasa diikuti. Kamipun berjalan dengan menjaga jarak tetapi tetap memusatkan perhatian pada mereka.
Kamipun tiba di loket keberangkatan internasional. Ada hal lucu yang terjadi di sini. Karena kami melihat banyak orang yakni ‘bule-bule’ yang putih atau  yang dari Asia menulis sesuatu di Incoming passenger card, kami ikut menulis juga. Kami menulis sambil duduk di lantai. Umm, ada satu bagian yang saya tidak yakin harus menulis apa sehingga sayapun berdiri dan mendekati petugas yang terlihat seperti orang Indonesia. Ternyata, dia bilang, orang Indonesia tidak perlu menulis itu, dan orang Indonesia tidak perlu mengantri lama bersama ‘bule-bule’ karena ada loket tersendiri. Dan yang tak disangka adalah petugas itu ternyata orang sunda. Kami mengetahuinya ketika dia bertanya tujuan kami dengan bahasa sunda. Dia begitu baik dan mendo’akan agar kami menikmati perjalanan kami. Hmm, saya lupa untuk melihat atau bertanya namanya dan saya pun sepertinya sudah lupa rupa wajahnya.

Eh ketemu lagi ma tiga ‘bule’ tadi di pesawat kedua yang kini terbang menuju Melbourne. Mereka duduk di tempat yang sama yakni bangku dekat emergency exit. Sedangkan kami, yang awalnya duduk di belakang mereka, kini duduk di sebelah kiri belakang mereka. Jadi, jika di pesawat pertama kami duduk di dekat jendela dan dapat melihat sayap kanan pesawat, di pesawat kedua kami duduk di dekat jendela dan dapat melihat sayap kiri pesawat.

Cuaca tidak begitu baik tentunya di malam hari, pilot mengingatkan hal itu agar kami tetap memasang sabuk keselamatan meskipun pesawat sudah mengudara. Lampu yang mengisyaratkan sabuk keselamatan senantiasa menyala. Itu artinya tetap di bangku masing-masing dengan mengenakan sabuk keselamatan. Beberapa lama mengudara, lampu isyarat toilet menyala. Itu artinya, toilet boleh digunakan. Penumpang boleh melepaskan sabuk keselamatan dan meninggalkan bangku jika hendak ke toilet.

Aduh, saya mulai mengantuk tapi sayang jika harus tidur dan melewatkan kesempatan untuk menggunakan TV kecil yang ada di setiap bangku di pesawat. Sayapun menonton beberapa film sebentar saja yakni tidak sampai habis. Sayapun tidur beberapa lama hingga saatnya kami hampir tiba di bandara di melbourne, kami mendapatkan kartu keimmigrasian dan makanan sebagai sarapan pagi kami. Saat itu adalah makan besar karena kami mendapatkan banyak makanan. Saya makan mie goreng sea food, roti dengan 3 jenis selai, puding, dan buah-buahan. Sebagai minumannya, saya pilih teh hangat yang ternyata sangat pahit meskipun sudah ditambah sebungkus kecil gula pasir. Ketika saya melahap makanan, saya perhatikan penumpang di sekitar saya tidak memakan semua makanan. Berbeda dengan saya, saya melahap habis semua makanan, mubajir kan kalau tidak habis, hehe. Setelah makan saya dan Teh Tya mengisi kartu keimmigrasian mengenai barang-barang yang saya bawa. Jadi, di kartu itu saya harus mendeklarasikan barang terlarang yang saya bawa seperti obat-obatan, kayu, kulit, makanan, dsb. Karena saya tidak membawa barang-barang tersebut saya hanya perlu memberi tanda di kotak ‘No’.

Sekitar satu hingga satu jam setengah kemudian, pesawat mendarat di bandara internasional Tullamarine di Melbourne. Asyik! Alhamdulillah sampai juga di Melbourne, di Australia! Saya dan Teh Tya pun berjalan keluar dari pesawat mengikuti kemana penumpang lain berjalan. Lalu, kami sampai di loket immigration check. Di sana kami mengantri bersama yang lain. Aduh sebetulnnya sedikit ‘deg-deg’an. Meskipun saya tidak tidak membawa barang terlarang tapi ada sedikit kekhawatiran yang saya rasa dan juga ini adalah pengalaman pertama saya. Huh, alhamdulillah, berjalan lancar. Petugas hanya mengecek passport lalu mengijinkan saya berlalu. Setelah itu kami berjalan lagi dan bertemu petugas yang bertanya, “Do you bring …” ini itu. Karena kami sama-sama tidak membawa barang-barang terlarang, dengan lancar, lugas, dan serentak, kami menjawab, “No, No, No,…”. Lalu petugas tersebut mengijinkan kami berlalu. Kemudian, kami menunggu bagasi kami keluar untuk kami bawa. Setelah itu, kami menuju pintu keluar.

Di pintu keluar terakhir, kami harus mengantri juga. Di sana, ada petugas yang bertanya apakah kami membawa barang terlarang. Saat itu, orang di depan saya membawa sesuatu yang terlarang, saya lupa apa barangnya. Orang tersebut kemudian diminta untuk tetap tinggal untuk diperiksa. Ketika saatnya giliran saya, saya diijinkan berlalu dan keluar karena saya, seperti yang saya ceritakan, tidak membawa barang terlarang apapun.

Setelah melewati pintu keluar, kami merasa seperti artis yang keluar dari belakang panggung karena ada banyak sekali orang yang menanti di depan pintu keluar. Kami melihat sekeliling sebentar untuk memeriksa apakah ada orang dengan membawa papan nama bertuliskan nama kami. Namun, kami tidak melihat satupun. Lalu kamipun berjalan ke arah kanan. Tidak berapa lama, ada seorang pria menghampiri kami. Ternyata, pria tersebut adalah LO (liason officer) nya teh Tya sekaligus guru bahasa Indonesia di sekolah dimana teh Tya akan bekerja.

Setelah beberapa lama, karena saya tidak melihat indikasi keberadaan LO saya di bandara, saya mencoba mengecek email saya melalui HP. Alhamdulillah, meskipun saya menggunakan kartu dari Indonesi, saya masih bisa mengakses internet. Alhamdulillah, LO saya mengirm email dan memberitahukan nomor HP nya. Lalu, saya beritahukan LO teh Tya mengenai ini karena LO teh Tya menanyakan dimana LO saya. LO teh Tyapun segera menelpon LO saya. Ternyata, LO saya masih berada dalam perjalanan dari Bendigo menuju Melbourne. Itu artinya saya harus menunggu sekitar satu jam. Sayapun kemudian diantar ke sebuah warung kopi di bandara untuk menunggu LO saya. Teh Tya dan LO-nya kemudian pergi meninggalkan saya, sendiri. Tidak apa, justru saya merasa sedikit bahagia. Hmm, petualangan saya dimulai.